Akhir-akhir ini, investasi emas kian merebak di tanah air. Ada yang namanya Berkebun Emas, atau merujuk istilah islami seperti, Dinar-Dirham, Gold-Dinar, Investasi Dunia Akhirat dan lainnya. Apa sebenarnya bisnis dan investasi emas? Apakah mereka sekadar mengikuti trend bisnis saja? Adakah pembenarnya dalam Islam? Lantas, apa kiat yang harus ditempuh dalam investasi emas? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Maraknya investasi emas saat ini bisa dilihat sebagai alternatif bisnis yang memiliki keunikan tersendiri dengan karakteristik yang universal. Selain itu, bisnis ini tak terkait langsung dengan misi sebuah agama. Pasalnya, bisnis emas bukan sesuatu yang baru dalam sejarah umat manusia. Sejak uang dijadikan sebagai alat tukar perdagangan seperti dalam sejarah Mesir kuno, sekitar 4000 SM–2000 SM, emas sudah dikenal dalam bisnis.
Uang emas dan perak yang terstandar diperkenalkan oleh Kaisar Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Caesar pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya. Perbandingannya 12:1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar berlaku di belahan Eropa selama sekitar 1250 tahun, hingga tahun 1204.
Di dunia Islam, uang emas dan perak dikenal dengan nama Dinar dan Dirham. Mata uang ini digunakan sejak masa awal kenabian, baik untuk muamalah (transaksi bisnis) maupun ibadah. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, perbandingan antara Dirham dengan Dinar adalah berat 10 (sepuluh) Dirham sebanding dengan 7 (tujuh) Dinar. Berat 1 Dinar sebanding dengan 4.25 gram emas (22 karat). Sehingga, berat 1 gram Dinar adalah 3 (tiga) gram emas (22 karat).
Standar ini dibuat berdasarkan kebutuhan yang spesifik dan pasti untuk menjalankan kewajiban dalam Islam seperti, membayar zakat, mahar dalam pernikahan, uang tebusan (diyat), dan lainnya. Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik, emas dijadikan standar resmi aktivitas ekonomi di semua negara Islam. Perkembangan ekonomi saat itu sangat pesat, tidak hanya terjadi antar negara Islam tapi ke negara-negara lain. Mata uang global yang digunakan saat itu tunggal, yakni Dinar (emas) dan Dirham (perak).
Penggunaan Dinar dan Dirham mencapai puncaknya pada tahun 1453 ketika Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dan menyatukan kekuasaan Kekhalifahan Utsmani. Selama tujuh abad (dari abad 13 sampai awal abad 20), Dinar dan Dirham menjadi mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaannya, meliputi seluruh wilayah kekuasaan Utsmani yang mencakup tiga benua yakni, Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara, dan sebagian Asia.
Pada puncak kejayaan Kekhalifahaan Utsmani (abad 16 dan 17), penggunaan uang Dinar dan Dirham membentang dari Selat Gibraltar di bagian barat sampai ke kepulauan Nusantara di bagian timur. Kemudian dari sebagian Austria, Slovakia dan Ukraina di bagian utara sampai ke Sudan dan Yaman di bagian selatan. Jika ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya, Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang digunakan paling lama dalam sejarah manusia. Tercatat lebih dari 14 abad, sampai berakhirnya kekuasaan Khilafah Utsmani tahun 1924.
Tak Sekadar Bisnis
Fakta sejarah ini menegaskan kelebihan uang emas (Dinar) dan kelayakannya menjadi produk bisnis yang unggul dan menguntungkan. Dalam Islam, Dinar (emas) dan Dirham (perak) dikenal sebagai alat tukar sejati (ats-tsaman al-haqiqi atau ats-thaman al-khalqi). Sedangkan uang tembaga atau perunggu disebut fulus, yang menjadi alat tukar berdasarkan kesepakatan (tsaman isthilahi). Dari sifatnya yang tak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus lebih dekat dengan sifat uang kertas (fiat money). Uang kertas yang kita kenal sekarang, terbukti memberi kontribusi besar dalam meruntuhkan struktur ekonomi sebuah bangsa.
Karenanya, bisnis emas bukan semata-mata mencari keuntungan materi, tapi juga sebagai ibadah dan pengabdian pada Allah SWT. Kewajiban sebagai Muslim bukan hanya menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa Ramadhan, zakat, zikir dan ibadah ritual lainnya, tapi harus ditunjukkan dengan kepatuhan pada aturan yang digariskan Islam dalam berekonomi.
Allah SWT berfirman: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca (al-mizan) itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu,” (QS ar-Rahman 7-9).
Merujuk pandangan Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud al-mizan dalam ayat itu adalah timbangan yang mengukur dan menentukan akidah, akhlak, perbuatan individu, sistem dan aliran pemikiran. Maka, tak salah jika ayat tersebut bisa diartikan sebagai perintah menegakkan timbangan secara adil dan larangan mengurangi timbangan. Perwujudan dari perintah dan larangan ini, hanya bisa dijalankan dengan menegakkan sistem keuangan berdasarkan tuntunan Islam yang komprehensif.
Karena itu, kesungguhan dalam memperjuangkan kembalinya eksistensi Dinar dan Dirham sebagai instrumen utama sistem moneter, merupakan bentuk ibadah dan dakwah. Sekaligus, menunjukkan konsistensi kita terhadap ajaran Islam secara kaffah.
Sumber: Majalah Sabili No 22/XVIII, 21 Juli 2011.
Jika anda ingin berbagi, silahkan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link di bawah ini! Terimakasih.
Baca juga artikel terkait di bawah ini :
1. Investasi emas ala Antam
2. Belajar mengelola Dinar dari Abdurrahman bin Auf
3. Pembagian uang menurut bentuknya
Maraknya investasi emas saat ini bisa dilihat sebagai alternatif bisnis yang memiliki keunikan tersendiri dengan karakteristik yang universal. Selain itu, bisnis ini tak terkait langsung dengan misi sebuah agama. Pasalnya, bisnis emas bukan sesuatu yang baru dalam sejarah umat manusia. Sejak uang dijadikan sebagai alat tukar perdagangan seperti dalam sejarah Mesir kuno, sekitar 4000 SM–2000 SM, emas sudah dikenal dalam bisnis.
Uang emas dan perak yang terstandar diperkenalkan oleh Kaisar Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Caesar pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya. Perbandingannya 12:1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar berlaku di belahan Eropa selama sekitar 1250 tahun, hingga tahun 1204.
Di dunia Islam, uang emas dan perak dikenal dengan nama Dinar dan Dirham. Mata uang ini digunakan sejak masa awal kenabian, baik untuk muamalah (transaksi bisnis) maupun ibadah. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, perbandingan antara Dirham dengan Dinar adalah berat 10 (sepuluh) Dirham sebanding dengan 7 (tujuh) Dinar. Berat 1 Dinar sebanding dengan 4.25 gram emas (22 karat). Sehingga, berat 1 gram Dinar adalah 3 (tiga) gram emas (22 karat).
Standar ini dibuat berdasarkan kebutuhan yang spesifik dan pasti untuk menjalankan kewajiban dalam Islam seperti, membayar zakat, mahar dalam pernikahan, uang tebusan (diyat), dan lainnya. Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik, emas dijadikan standar resmi aktivitas ekonomi di semua negara Islam. Perkembangan ekonomi saat itu sangat pesat, tidak hanya terjadi antar negara Islam tapi ke negara-negara lain. Mata uang global yang digunakan saat itu tunggal, yakni Dinar (emas) dan Dirham (perak).
Penggunaan Dinar dan Dirham mencapai puncaknya pada tahun 1453 ketika Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dan menyatukan kekuasaan Kekhalifahan Utsmani. Selama tujuh abad (dari abad 13 sampai awal abad 20), Dinar dan Dirham menjadi mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaannya, meliputi seluruh wilayah kekuasaan Utsmani yang mencakup tiga benua yakni, Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara, dan sebagian Asia.
Pada puncak kejayaan Kekhalifahaan Utsmani (abad 16 dan 17), penggunaan uang Dinar dan Dirham membentang dari Selat Gibraltar di bagian barat sampai ke kepulauan Nusantara di bagian timur. Kemudian dari sebagian Austria, Slovakia dan Ukraina di bagian utara sampai ke Sudan dan Yaman di bagian selatan. Jika ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya, Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang digunakan paling lama dalam sejarah manusia. Tercatat lebih dari 14 abad, sampai berakhirnya kekuasaan Khilafah Utsmani tahun 1924.
Tak Sekadar Bisnis
Fakta sejarah ini menegaskan kelebihan uang emas (Dinar) dan kelayakannya menjadi produk bisnis yang unggul dan menguntungkan. Dalam Islam, Dinar (emas) dan Dirham (perak) dikenal sebagai alat tukar sejati (ats-tsaman al-haqiqi atau ats-thaman al-khalqi). Sedangkan uang tembaga atau perunggu disebut fulus, yang menjadi alat tukar berdasarkan kesepakatan (tsaman isthilahi). Dari sifatnya yang tak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus lebih dekat dengan sifat uang kertas (fiat money). Uang kertas yang kita kenal sekarang, terbukti memberi kontribusi besar dalam meruntuhkan struktur ekonomi sebuah bangsa.
Karenanya, bisnis emas bukan semata-mata mencari keuntungan materi, tapi juga sebagai ibadah dan pengabdian pada Allah SWT. Kewajiban sebagai Muslim bukan hanya menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa Ramadhan, zakat, zikir dan ibadah ritual lainnya, tapi harus ditunjukkan dengan kepatuhan pada aturan yang digariskan Islam dalam berekonomi.
Allah SWT berfirman: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca (al-mizan) itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu,” (QS ar-Rahman 7-9).
Merujuk pandangan Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud al-mizan dalam ayat itu adalah timbangan yang mengukur dan menentukan akidah, akhlak, perbuatan individu, sistem dan aliran pemikiran. Maka, tak salah jika ayat tersebut bisa diartikan sebagai perintah menegakkan timbangan secara adil dan larangan mengurangi timbangan. Perwujudan dari perintah dan larangan ini, hanya bisa dijalankan dengan menegakkan sistem keuangan berdasarkan tuntunan Islam yang komprehensif.
Karena itu, kesungguhan dalam memperjuangkan kembalinya eksistensi Dinar dan Dirham sebagai instrumen utama sistem moneter, merupakan bentuk ibadah dan dakwah. Sekaligus, menunjukkan konsistensi kita terhadap ajaran Islam secara kaffah.
Sumber: Majalah Sabili No 22/XVIII, 21 Juli 2011.
Jika anda ingin berbagi, silahkan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link di bawah ini! Terimakasih.
Baca juga artikel terkait di bawah ini :
1. Investasi emas ala Antam
2. Belajar mengelola Dinar dari Abdurrahman bin Auf
3. Pembagian uang menurut bentuknya
0 comments:
Post a Comment