Sanering, Redenominasi haruskah?

Monday, August 9, 2010

Tidak terasa mata uang kita mengalamai inflasi rata-rata 10% per tahun. Dampak dari hal itu adalah kenaikan harga-harga sedikit demi sedikit. Dahulu masih sedikit orang yang menjadi jutawan, tetapi saat ini banyak sekali jutawan. Coba anda cek orang-orang di sekitar anda. Dapat dipastikan mereka rata-rata gajinya di atas satu juta perbulan. Tapi apakah gaji jutaan itu bisa mencukupi kebutuhan hidup? sebagian besar tidak. Makanya para suami banyak yang mengijinkan istrinya bekarja untuk menambah penghasilan.

Adalah konsekwensi logis dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Saya masih ingat waktu SD bisa makan semangkuk bakso hanya dengan uang logam  seratus rupiah. Mendapat uang jajan Rp 100 untuk anak SD sudah dianggap besar pada waktu itu. Sekarang untuk membeli semangkuk bakso harus menambah dua angka nol jadi  10.000. Anak kita diberi Rp 100 dipakai untuk mainan dan dibuang-buang tak berharga. Kapan harganya bisa kembali semula waktu saya SD dulu ya.

Untuk Rupiah, tiga angka nol yang pernah dibuang dengan susah payah tahun 1965/1966  pada masa  Presiden Soekarno yang dikenal dengan Sanering Rupiah , Eh... ternyata tiga angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita bahkan kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol, melainkan malah  menjadi empat atau bahkan lima angka nol. Mau bukti ?, lihat di dompet Anda – kemungkinan besar hanya uang dengan empat atau lima angka nol yang ada di dompet – karena yang nolnya hanya tiga kemungkinan sudah untuk bayar parkir,  masuk kencleng infaq atau diberikan ke Pak Ogah...

Akibat dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, mengakibatkan rumitnya bertransaksi. Sistem komputerisasi perbankan harus menyediakan space lebih untuk menyimpan angka nol. Dibutuhkan lebih banyak tinta untuk mencetak angka nol. Dengan kata lain angka nol yang terlalu banyak mengakibatkan inefisiensi. Untuk itu dibutuhkan keberanian dalam mengambil keputusan secara berkala untuk me-reset kembali agar angka-angka nol tersebut  kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini bisa melalui Sanering bila inflasi naik tak terkendali, atau melalui proses Redenominasi bila ekonomi sedang normal dan stabil. 

Dua kebijakan itu memang tidak populer di masyarakat, karena  pahit, menyakitkan, membingungkan  dan lain-lain. Tetapi menurut saya justru harus dilakukan dengan cepat dan tepat tanpa ragu-ragu. Karena  jika berlama-lama angka nol akan terus menghantui kita dan anak cucu kita. Apakah kita mau seperti negara Zimbabwe yang gajinya beratus-ratus juta atau bahkan milyaran per bulan tetapi hanya bisa membeli beberapa potong roti?

Bila dilakukan dengan berani dan cepat; rasa sakit tersebut tidak akan lama – namun setelah itu kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan tersebut. Bayangkan bila tahun 1965 - 1966 pemerintah negeri ini tidak berani mengambil keputusan Sanering – Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa membangun – dan bisa Anda bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang ?.

Demikian pula bila pemerintah sekarang tidak berani mengambil keputusan untuk meng-implementasikan proses Redenominasi ini; berapa angka nol uang kita nanti ketika anak-anak kita dewasa sembilan belas tahun yang akan datang?. Jadi Redenominasi tetap harus dilakukan, masalahnya kapan dan siapa yang berani mengambil keputusan tidak populer tetapi perlu ini?

Bukan mustahil jika kebijakan ini tidak dilakukan nantinya anak cucu kita berpenghasilan Milyaran Rupiah tetapi tergolong miskin, lantaran uang sebanyak itu hanya bisa membeli beberapa kilogram beras. Dan mata uang kita menjadi bahan lelucon negara negara lain.


trenlogammulia.blogspot.com

Jika artikel ini bermanfaat silahkan sharing ke teman Anda melalui tombol di bawah ini:
Bookmark and Share
Baca artikel terkait lainnya :
1. Sanering dan Redenominasi apa bedanya?
2. Sanering uang kertas di era Soekarno
3. Mari kembali ke uang dinar dan dirham
4. Cara berinvestasi emas

0 comments:

Post a Comment