Sejarah Kelam Bank, Uang Kertas dan hilangnya uang emas.

Thursday, April 22, 2010

Asal mula bank bisa ditelusur dari Inggris abad pertengahan (900-1000 M) yang waktu itu dikuasai oleh para money changer atau goldsmith. Sederhana saja. Di masa itu, menenteng emas kemana-mana selain tidak aman juga repot. Oleh karena itu pemilik emas menitipkan emasnya kepada goldsmith. Mereka kemudian membuat semacam nota sebagai bukti kepemilikan emas. Lambat laun, proses ini menjadi lebih berkembang. Nota kepemilikan tadi bisa dipindahtangankan sebagai alat tukar tanpa perlu tanda tangan pemiliknya. Inilah yang menjadi cikal bakal uang fiat seperti yang kita kenal sekarang.

Sayangnya, cuma ada sedikit pemilik emas yang mau menitipkan emasnya. Akibatnya, para goldsmith juga tidak bisa mencetak uang (nota) sebanyak mereka mau karena setiap “uang” yang mereka buat harus sebanding dengan deposit emas yang ada. Tapi para goldsmith pun tak kurang akal. Mereka mulai mencetak lebih banyak “uang” dari emas yang ada dan meminjamkannya dengan bunga tertentu. Inilah cikal bakal sistem yang disebut sebagai fractional reserve banking.

Bisnis ini tentu saja sangat menguntungkan. Misalkan goldsmith bersedia membayar bunga 5% terhadap emas yang Anda setor kepada mereka. Di saat yang sama, mereka meminjamkan uang kepada orang lain dengan bunga yang sama, 5% juga, namun dengan jumlah hingga 10 kali dari jumlah emas yang Anda depositkan. Jadi, keuntungan yang mereka dapatkan sebesar 50% dikurangi 5% bunga yang dibayarkan kepada Anda, atau 45%. Tentu saja ini angka yang sangat konservatif. Bagaimana kalau mereka membayar Anda cuma 2-3%, sementara mereka meminta bunga dari orang lain sebesar 8-10%?

Hal ini tak cuma membuat goldsmith mengendalikan peredaran uang, tapi juga mengendalikan perekonomian dan aset yang dimiliki orang-orang. Caranya adalah dengan mengatur jumlah/sirkulasi uang fiat yang beredar. Misalnya, uang yang beredar di masyarakat dibuat berlimpah, namun kemudian dikurangi atau dihentikan tiba-tiba. Akibatnya, ada sejumlah orang yang kesulitan membayar pinjamannya. Dengan cara begini, goldsmith bisa menarik paksa aset yang dimiliki para peminjam yang gagal bayar dengan harga murah.

Pada 3 Agustus 1100, King Henry 1 memerintah Inggris dan mengambil alih kekuasaan money changer/goldsmith. Ia membuat bentuk uang baru yang dinamai tally stick. Sesuai namanya, uang ini berwujud sebatang kayu yang dipoles dan diberi tanda tertentu. Batang kayu ini kemudian dibelah dua dimana satu disimpan oleh raja, sementara potongan lainnya beredar di masyarakat. Rakyat hanya bisa membayar pajak dengan menggunakan tally stick. Cara ini dianggap ideal karena tidak ada bunga dan peredaran uang dikendalikan oleh raja yang tidak bersifat oportunis.

Kita tahu bahwa dalam perekonomian Islam tidak ada istilah bunga. Di Eropa abad pertengahan, riba (usury) juga dianggap kriminal oleh gereja. Biarpun ada sejumlah mata uang jenis baru yang diperkenalkan, tally stick sendiri bertahan hingga 1826. Tapi selama 700 tahun itu bukan berarti sistem uang berbunga juga musnah. Tahun 1642, para money changer berkongsi membayari Oliver Cromwell untuk membuat revolusi di Inggris dan mengembalikan kekuasaan membuat uang kepada para money changer namun gagal. Lalu, 40 tahun kemudian, mereka membiayai invasi William of Orange terhadap Inggris dan berhasil.

Kehabisan uang karena perang, pemerintah Inggris kemudian meminta pinjaman pada para money changer. Sebagai imbalannya, money changer meminta pemerintah untuk menghukum bank swasta lain yang mencetak uang. Money changer kemudian membentuk “Bank of England” dengan menyetor modal koin emas senilai £1,25 juta pada pemerintah. Nama tersebut dipilih untuk “menipu” publik agar bank tersebut seolah-olah milik pemerintah. Biarpun konon cuma sekitar separonya saja yang disetor, tapi mereka mulai mencetak uang sebanyak mereka mau. Sampai saat ini bahkan tidak ada yang tahu siapa investor rahasia di balik Bank of England tersebut.

Bank sentral dari waktu ke waktu juga berevolusi. Dari semula mereka meminjamkan kepada individu, kemudian mereka lebih suka meminjamkan uang kepada pemerintah. Alasannya, jumlahnya lebih besar juga lebih aman karena di-backup oleh pajak yang dibayar rakyat kepada pemerintah. Alhasil bank sentral dari waktu ke waktu bertumbuh makin besar. Sebaliknya, utang pemerintah kepada Bank of England yang semula cuma £1,25 juga melonjak jadi £16 juta hanya dalam waktu 4 tahun. Karena jumlah uang beredar begitu besar, lahirlah inflasi yang menyebabkan nilai (value) uang kian surut dari waktu ke waktu.

Akibat dari inflasi, kekayaan seseorang akan terus menyusut dari waktu ke waktu. Mereka kemudian meminjam uang kepada bank demi memenuhi kebutuhannya. Tentu saja, bank bisa seenaknya membatasi peredaran uang yang menyebabkan sejumlah orang gagal bayar dan bangkrut. Bank kemudian menarik aset-aset yang dimiliki orang tersebut. Jelas bahwa inflasi sebenarnya merugikan semua orang, kecuali bank yang bisa mencetak uang. Karena secara teori, mereka bisa create money out of nothing. Inilah penyakit yang terus diwariskan hingga saat ini.

Bicara soal bank sentral, maka kita tak bisa lepas dari nama Mayer Amschel Rothschild. Tak cuma mendirikan money changer sendiri, ia juga mendidik lima orang anaknya untuk membuat “bisnis” serupa. Pengaruh Rothschild tak cuma ada di Inggris, tapi juga di Amerika, Perancis, Jerman, dan sejumlah negara lainnya. JP Morgan adalah salah satu agennya yang kemudian mendirikan bank sendiri. Sejumlah agen Rothschild yang lain mendirikan Bank of International Settlement (BIS) di Swiss. Keluarga Rothschild juga punya pengaruh besar terhadap IMF dan World Bank.

Bankir-bankir tersebut memang punya power yang luar biasa besar. Mereka bisa memaksa pemerintah untuk membuat peraturan yang menguntungkan mereka—-misalnya Coinage Act dan Sherman Law yang membatasi pembuatan koin, Aldrich Bill dan Glass-Owen Bill tentang legalisasi pencetakan uang, maupun Federal Reserve Act 1913 tentang pendirian Federal Reserve. Konon, bahkan presiden seperti Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, sampai JF Kennnedy “dibunuh” karena tidak mau memberikan dukungan pada bankir Federal Reserve. (Note: “Bankir” yang saya maksud di sini bukan bankir kelas “ecek-ecek” seperti Citigroup, apalagi bankir yang membawa kabur duit nasabah Century.)

Besarnya kekuatan para bankir tersebut juga bisa dilihat dari Black Thursday atau The Great Depression 1929. Milton Friedman, peraih nobel ekonomi, mengatakan bahwa depresi tersebut disebabkan karena Federal Reserve sengaja memangkas peredaran uang menjadi sepertiga dari tahun 1929 hingga 1933. Sejarah juga mencatat jelas bahwa orang-orang besar seperti John Rockefeller, Bernard Baruch, atau JP Morgan sudah lebih dulu menjual sahamnya dan meletakkan aset mereka dalam bentuk kas atau emas sesaat sebelum depresi. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi terhadap krisis 1998 maupun resesi keuangan yang terjadi tahun lalu.

Joseph Stiglitz (World Bank) punya formula penyembuhan krisis yang terkenal: privatisasi, liberalisasi pasar modal, pemberlakuan market-based pricing, dan perdagangan bebas. Formula ini memang merugikan banyak pihak, terutama dari negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, atau Afrika. Tapi tentu saja ada yang diuntungkan dari formula tersebut, yaitu para bankir. Saat ini, cadangan emas terbesar dimiliki oleh IMF—-jauh lebih besar dari yang dimiliki bank-bank sentral. IMF dan World Bank juga menangguk untung luar biasa besar dari pinjaman yang diberikan kepada negara-negara berkembang, termasuk dari privatisasi sektor-sektor strategis di negara-negara tersebut.

Akibat efek dari sistem uang dengan bunga-berbunga (compounding interest), secara teori, setiap penduduk Amerika punya utang sekitar $80 ribu kepada para bankir tersebut. Milton Friedman mengusulkan sebuah solusi dimana pencetakan uang mustinya dikembalikan kepada pemerintah, semua bentuk utang segera dilunasi, dan pemerintah harus menjaga agar inflasi maupun deflasi tidak terjadi. Efeknya, pajak yang dibayarkan rakyat akan menurun dan mereka tidak lagi terbebani lilitan bunga utang yang menggunung. Masih untung bank sentral di Indonesia dikuasai pemerintah, bukan swasta seperti halnya di Amerika atau di negara-negara lain. Tapi bukan berarti kita 100% aman. Apalagi Bank Indonesia seperti “negara” yang punya kekuasaan sendiri.

Lalu, apa yang bisa kita perbuat sekarang? Jujur saja, tidak banyak. :)

Tapi yang pasti, usahakan untuk menghindari utang, apapun bentuknya, apalagi utang yang tidak bersifat produktif dan berbunga tinggi. Hiduplah sederhana dan bersahaja, dengan living standard yang wajar. Kalau Anda punya kekayaan berlebih, pertimbangkan untuk diversifikasi dalam bentuk lain seperti logam mulia atau properti. Pertimbangkan juga menyimpan aset dalam mata uang lain, selain Rupiah atau Dollar. Tapi yang juga tak kalah penting adalah educate yourself, educate your family, educate your friends. Kita semua perlu membangun society yang paham bagaimana uang itu dibentuk, bagaimana manipulasi sistem ekonomi ini terjadi, dan bagaimana jalan keluar atas persoalan ini.

Sumber : http://nofieiman.com

Baca juga artikel berikut :

0 comments:

Post a Comment